MENJAWAB Soal Tafsir Al-Maidah 51

Apa kabar Sahabat Baca dan Sebarkan ? Kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk Anda baca dan ambil informasi didalamnya. Mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat Anda pahami. Baiklah, selamat membaca.

Judul : MENJAWAB Soal Tafsir Al-Maidah 51
Link : MENJAWAB Soal Tafsir Al-Maidah 51

Baca juga



Oleh: Syamsuddin Arif 
Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta

Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidak nya umat Islam mendukung calon bupati, wali kota, atau gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi.

Yang melarang berpegang pada ayat Alquran surah al-Maidah ayat 51 ("Jangan lah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu") dan surah an-Nisa ayat 144 ("Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai waliwali, seraya meninggalkan orang-orang beriman").

Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir at-Tabari dan Ibn Katsir dirujuk lantas menyimpulkan kata "awliya" dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?

Tiga Persoalan

Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imamatul mafdul). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imamatul fasiq). Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imamatul kafir). Kecuali yang disebut terakhir, persoalan- persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya "kurang layak" (mafdul) daripada yang benar-benar layak (fadil). Lebih banyak yang "kurang taat" (fasik) daripada yang saleh. Tentu saja dengan pengecualian para Khulafa' Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridwanullahi 'alayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka, semisal 'Umar bin 'Abdil 'Aziz.

Jadi, memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara "apa yang semestinya" (das Sollen) dan "apa nyatanya" (das Sein). Idealnya, seorang pemimpin itu bertakwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya. Namun, realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir, terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani 'Abbasiyyah dan sesudahnya itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan ke salahan. Maka sebagian teolog memboleh kan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. Inilah yang disebut imamatu'lmafdul. (Lihat: Imam Abu 'l-Hasan al-Asy'ari, Ma qalat al-Islamiyyin, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Hazm, al-Fasl fi 'l-milal wa 'l-ahwa' wa 'n-nihal, ed. M.I. Nasr dan 'A.'Umayrah, Dar al-Jil Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).

Sama halnya dengan imamatu'l-fasiq. Yakni, kasus di mana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunah Rasul-Nya.

Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu dararayni), yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Ahmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: "Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (faquwwatuhu li'l-muslimin wa fujuruhu 'ala nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam." (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyasah as- Syar'iyyah fi islahi r-rai' wa r-ra'iyyah (cet. Dar al-Jil Beirut 1413/1993, hlm. 27).

Normatif dan Historis

Soal pemimpin non-Muslim jarang sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi. Secara normatif, larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi yang merupakan "pemuka" mazhab Syafi'i dan diakui otoritasnya sebagai ahli fikih dan ahli hadis sekaligus, misalnya, sangat eksplisit menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurut al-imamah) itu mesti akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman –bukan kafir!), adil, mer deka (bukan budak), laki-laki, berilmu ('aliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dza ra'yin wa kafa'ah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawdat at-Talibin ed. Syeikh 'Adil 'Abdul Mawjud dan 'Ali M. Mu'awwad, cet. Dar 'Alam al- Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262). Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fikih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama, seperti kitab al-Iqna' fi halli alfaz Abi Syuja' karya al-Khatib as- Syarbini (cet. Mustafa al-Bab al-Halabi Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).

Pun secara historis, Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk orang kafir (walau pun mereka itu warga negara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya 'Amil dan wali) ataupun panglima (amir). Demikian juga para khulafa' sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warga negara itu memegang tampuk kekuasaan, apalagi dalam ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non- Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warga negara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.

Relasi Non-Muslim

Apa maksud kalimat "jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliya' (teman, kawan, rekan, sekutu)?" Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, menjalin aliansi dengan non-Muslim (muwalat al-kafir) mengandung tiga pengertian. Pertama, meridhai kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang karena merestui kekufuran itu kufur (ar-rida bil kufri kufrun). Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (almu'asyarah al-jamilah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (arrukun ilayhim), mengulurkan bantuan (alma'unah), mendukung mereka (al-muzaharah), dan membela kepentingan mereka (an-nusrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun 'anhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsir al-Kabir, juz 7, jilid 3, cet. Dar al-Fikr Beirut 1425/ 2005, hlm.1603-1604).

Memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliya' atau wali-wali itu ber arti dua hal, yaitu memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walayah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaz nya dibaca wilayah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufradat Alfaz al-Qur'an (ed. Safwan 'Adnan Dawudi, cet. Dar al-Qalam Da maskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwalatul kuffar tidak hanya berarti menjalin kerja sama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan "wilayah" (kekuasaan/mandat/kepemimpinan) umat Islam kepada non-Muslim.

Non-Muslim yang Adil?

Ada orang menukil sebuah "riwayat" (yang bukan Quran dan bukan pula hadis) dari kitab Ibnu Taymiyyah bahwa "Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin". Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullah) yang berlaku universal –kapanpun dan di manapun– bahwa pemerintah yang adil akan langgeng dan pemerintah yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapa pun dan dicabut dari siapa pun. Allah berikan kekuasaan kepada Firaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu ne geri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya ma sih melakukan perbaikan. (QS Hud 117).

Perlu diketahui bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contohnya, di mana Allah berfirman: "Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita musyrik [yang cantik] betapa pun kalian mengaguminya." QS al-Baqarah 221).

Syarat keadilan bagi seorang pemimpin negeri Muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: ad-Damyati, I'anatu 't-Talibin 'ala Fathi 'l-Mu'in, cet. al-Ma'arif Bandung, t.t., hlm. 211-212). Sementara menurut al- Baghdadi, dalam konteks politik kenegaraan, syarat "adil" untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan terpercaya, dapat diterima kesaksiannya, baik sebagai penerima maupun penyampai laporan (mimman yajuzu qabulu syahadatihi tahammulan wa ada'an). Lihat kitabnya, Uslluddin, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm. 277.

Kesimpulan

Bagi umat Islam, baik "pilkada" maupun "pilkara" (pemilihan kepala negara) bukan se mata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab 'aqa'id (aqidah) dan ilmu usuluddin (pokok agama). Sebutlah misalnya kitab 'aqa'id an-Nasafi yang telah disalin dan diterjemahkan di Kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan syariat, membangun benteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah Ju mat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya.

Dan tujuan "pilkada" maupun "pilkara" bagi umat Islam adalah agar si pemimpin menjalankan misi profetik, yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al-imamah mawdu'ah li-khilafati'nnubuwwah fi hirasati'd-din wa siyasasti'ddunya). Inilah prinsipnya sebagaimana dinyatakan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah, ed. Khalid al-'Alimi (cet. Dar al-Kitab al-'Arabi Beirut 1415/ 1994, hlm. 29).

Wallahu a'lam.

Sumber: ROL



Demikianlah Artikel MENJAWAB Soal Tafsir Al-Maidah 51

Mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel dengan alamat link https://bacasebar.blogspot.com/2016/10/menjawab-soal-tafsir-al-maidah-51.html

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

0 Response to "MENJAWAB Soal Tafsir Al-Maidah 51"

Post a Comment